Pages

Saturday, October 03, 2015

Etika Sufi dalam Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Manusia Modern (Bagian 1)

Sumber gambar: www.sustainablecitiescollective.com
Akhlak merupakan salah satu eleman terpenting dalam Islam selain akidah dan syari’ah. Seorang muslim belum dipandang sempurna bila belum mengamalkan ketiga elemen ajaran Islam ini. Karena itu, sejak dini anak-anak muslim telah diajar dan didik tentang ketiga keilmuwan tersebut. Adapun yang menjadi persoalan adalah, bagaimana metode pengajar akhlak disampaikan kepada masyarakat. Apakah akan disampaikan secara dogmatis ataukah rasional. Jika rasional, serasional apakah metodenya tersebut?

Sepertinya, selama ini metode pengajaran akhlak yang disampaikan lebih bersifat dogmatis atau doktrinal. Ini tentunya tidak keliru meski tidak memadai. Tidak keliru karena memang ada sejumlah petunjuk akhlak yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun riwayat-riwayat Nabi saw yang menyeru manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan akhlak. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena segaian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. 49: 12)
Dalam salah satu riwayat, Nabi saw bersabda: “Tuhanku wewasiatkan kepadaku tentang sembilan perkara: agar ikhlas dalam segala amal baik yang kulakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, bertindak dalam keadaan rela ataupun marah, sederhana dalam keadaan kaya atau miskin, memafkan orang yang menzalimiku, memberi orang yang menghentikan pemberiannya kepadaku, menyambung tali kekeluargaan dari orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan denganku, menjadikan diamku sebagai waktu untuk berpikir, pembicaraanku sebagai dzikir, dan pandanganku sebagai ibrah.”
Disebut tidak memadai karena pengajar akhlak yang indoktrinatif tersbut akan memunculkan pandangan yang legalistis tentang kemoralan, yakni seakan-akan kemoralan (baca: akhlak) tida lain adalah kesediaan menanti suatu hukum yang diwajibkan dari luar. Lebih jauh, legalisme moral mematikan kreativitas terhadap ideal kemoralan dan menyebabkan kekeringan serta kemunafikan terhadap ideal kemoralan.
Akan tetapi pendekatan rasional terhadap akhlak pun ternyata tidak sepi dari kritik pula. Sayyed Hossein Nasr menyebutkan bahwa Filsafat Rasionalisme yang digagas oleh Rene Descartes (1596-1650) telah menempatkan aksi kognitif ego individual dan kemerdekaan akal manusia terhadap wahyu sebagai kriteria tertinggi kebenaran dan bahkan menjadi fondasi eksistensi. Dengan kata lain, esensi akal manusia akan selalu mendorong ia untuk selalu memisahkan diri dengan dunia material manusia. Dalam konteks ekologi, Filsafat Rasionalisme Descartes telah menjadikan alam sebgai objek yang dapat diatur sesuai dengan keinginan dan pilihan manusia yang pada gilirannya mengakibatkan kehancuran alam.
Etika Sufi dalam Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Manusia Modern (Bagian 2) 

No comments:

Post a Comment