Pages

Tuesday, October 06, 2015

Memahami Tuhan Menurut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as

Sumber gambar: www.sodahead.com
Suat saat datanglah seorang kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Ia berkata, “Amirul Mukminin, jelaskan kepada kami tetang Tuhan kami sehingga seakan-akan kami melihat-Nya sendiri, agar kami lebih mencintai-Nya dan lebih mengenal-Nya.”

Amirul Mukminin marah terhadap kemunculan keraguan seperti ini di tengah masyarakat. Maka ia berseru, “Mari menegakkan shalat berjama’ah.” Orang-orang pun berkumpul di masjid penuh sesak. Setelah sahat berjama’ah Amirul Mukminin naik mimbar, lalu memuji dan menyanjung Allah Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi saw. Kemudian ia menyampaikan khotbah yang dikenal dengan Khotbah al-Asybah. Dalam khotbah itu, ia menjelaskan sifat-sifat Allah Ta’ala yang pantas bagi-Nya.
Amirul Mukminin berkata, “Segala puji bagi Allah yang (dengan kekuasaan-Nya) penolakan untuk memberikan dan kepelitan tidak menjadikan (seseorang menjadi) kaya, dan kemurahan dan kedermawanan tidak menjadikan (seseorang menjadi) miskin...”
“Dia Yang Awal yang tidak ada’sebelum-Nya’ sehingga mustahil ada apa pun sebelum-Nya. Dia Yang Akhir yang tidak ada ‘sesudah-Nya’ sehingga mustahil ada sesuatu sesudah-Nya. Ia mencegah bola mata dari memandang atau melihat-Nya...”
“Maka perhatikanlah, wahai penanya, cukuplah berpegang kepada al-Qur’an yang menjelaskan sifat-Nya dan ambillah penerangan dengan cahaya hidayah-Nya. Setan tidak bisa memaksakan kepadamu pengetahuan tentang-Nya yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur’an dan sunah Nabi saw, dan tidak pula tentang jejak-Nya dalam perbuatan para pemimpin hidayah. Seluruh pengetahuan tentang-Nya hanya ada pada Allah swt. (Dr. Subhi Shalih, Syarh Nahjul Balaghah, hal 124, Khotbah ke 91)
Berdasarkan athar dari Ali bin Abi Thalib as, tersebut maka pemaksaan untuk menjelaskan hakikat Allah adalah perbuatan yang sia-sia. Hal tersebut dikarenakan mencoba untuk menjelaskan hakikat Allah sering kali akan menggiring pada upaya mencocokan wujud Allah yang gaib dengan pengetahuan empiris manusia yaitu hal-hal yang terasa oleh panca Indra, atau disebut juga tajsim atau tashbih. Upaya untuk memikirkan Allah dan mencoba menguraikan ayat-ayat mutashabihat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah lambat laun akan menggerus keimanan kita kepada Yang Gaib. Padahal mengimani Yang Gaib adalah merupakan cara agar hati dan jiwa kita dapat terhindar dari sikap saling menyombongkan diri akan pengetahuan atau kekuasaan yang dimiliki. Keimanan kepada Yang Gaib bukanlah dengan terus memikirkan dan mengada-adakan-Nya, namun dengan cara bersikap rendah hati dan selalu optimis bahwa segala apa yang terjadi di alam semseta ini dikuasai oleh Tuhan yang Maha Adil kepada setiap hamba-Nya. Kareanya orang yang telah dibukakan pintu kegaiban (kashf) bukanlah orang yang telah mendapatkan fantasi yang memabukan dalam fikirannya, akan tetapi orang yang kashf adalah orang yang dalam segala tingkah laku atau akhlaknya terpancar kebaikan cahaya Tuhan, sehingga setiap orang yang bertemu, berbicara, dan memandang kepadanya akan terasa nyaman dan terlindungi.

No comments:

Post a Comment