Pages

Friday, October 09, 2015

Mencari Agama Masa Depan

Sumber gambar: www.sojo.net
Para pakar terutama yang terkait dengan keagamaan merasa prihatin terhadap peran agama yang lambat laun semakin tidak berfungsi dalam penghargaan nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah pertanyaan yang muncul adalah “apakah agama untuk manusia, ataukan manusia untuk agama?”
Sesuatu yang sering ditampilkan di muka umum adalah sering kali agama bukannya dapat menjawab persoalan kemanusiaan malah sering kali menimbulkan persoalan kemanusiaan itu sendiri. Berdasarkah hal ini maka masih layakkah agama bagi manusia terutama manusia modern saat ini yang sudah tidak lagi merasa terikat oleh ritus-ritus suci suatu agama. Agama memang sering kali dijadikan kambing hitam dalam munculnya persolan kemanusiaan, akan tetapi tidak dengan spiritualitas. Dikarenakan hal tersebut maka hanya agama yang menjamin pemenuhan spritualitas dan tidak bertentangan dengan sains dan teknologilah yang dapat bertahan dan dianggap menjadi solusi dari krisis manusia modern. Selain itu pendekatan beragama yang cenderung ekslusif juga tidaklah cocok untuk ditawarkan pada hari ini dan masa yang akan datang karena pada masyarakat yang terbuka semacam ini agama semacam itu cenderung menyulut konflik.
Karena spiritualitas yang sangat dibutuhkan oleh manusia modern, maka agama masa depan bukanlah dalam pengertian satu agama komnual yang dianut oleh semua manusia. Akan tetapi, agama masa depan yang akan muncul adalah agama yang menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap agama. Teologi agama masa depan lebih konsen pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritual yang bersifat mistis.
Secara epistemologis, agama masa depan menolak paham absolutisme dan akan memilih apa yang oleh Swidler disebut deabsolutizing truth atau yang oleh Seyyed Hossein Nasr diistilahkan sebagai relatively absolute. Dikatakan absolut karena setiap agama mempunyai klaim dan orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif karena klaim dan keyakinan agama itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah. Tetapi tidak pula kita lantas sepakat dengan kecendrungan spiritualitas sekuler di mana manusia menuhankan sesuatu yang mendunia (worldly), khususnya objek konkret maupun abstrak. Spiritualitas semacam ini adalah spiritualitas penuh paradoks, yang didalamnya manusia menuhankan sesuatu yang sama derajatnya dengan manusia itu sendiri. Karena objek-objek tersebut adalah ciptaannya sendiri atau setidaknya hasil proyeksi hayalnya, maka sangat tidak layak ia dituhankan. Sesuatu pantas dianggap Tuhan apabila sesuatu itu adalah yang benar-benar melampaui dirinya sebagai Yang Tak Terbatas, Tak Berhingga, dan Tak Terjangkau.
Sebenarnya konsep relatively absolute tersebut bukan pada tataran ontologi agama itu sendiri, hal ini karena masing-masing agama memiliki klaim kebenaran dan absolutisitas terhadap bangunan agamanya, akan tetapi relatively absolute lebih pada tatara epistemologi di mana semua orang pasti mencari keberan agama sejati, dan karena latar belakang yang berbeda maka setiap orang menjatuhkan pilhannya pada iman yang berbeda-beda pula. Agama adalah merupakan suatu proses menuju kesempurnaan pribadi karenanya tidaklah dibenarkan jika dalam proses mencari kebenaran sejati, setiap individu saling menyalahkan, hal ini karena tidak ada satu pun manusia yang masih hidup di dunia ini telah menyaksikan keberaan sejati.

No comments:

Post a Comment