Sebagai orang tua sering kali kita merasa bahwa kita memiliki kapasitas yang paling baik dalam
memutuskan setiap apa yang harus atau tidak boleh dilakukan oleh anak-anak kita. Anak, sering kali hanya dijadikan sebagai objek eksperimen kebijakan orang tuanya. Padahal menjadikan anak sebagai objek akan berdampak buruk pada perkembangan kepribadiannya.
Setiap anak, dalam kapasitasnya sebagai manusia yang dapat berfikir dan merasa, pasti akan mencoba mengungkapkan segala apa yang dirasakan atau diinginkannya. Kemampuan ini telah ada sejak ditiupkan ruh oleh Tuhan kedalam jasadnya sejak masih di dalam kandungan. Pada awalnya segalah hal yang dilakukan oleh anak bersifat reaktif, mengikuti kebutuhan tubuhnya, misalnya bayi akan menangis ketika tubuhnya membutuhkan asupan makanan atau ASI.
Seiring dengan kemampuan indrawinya yang semakin maksimal, seperti penglihatan, pendengaran, penciuman dan indra perasa, seorang anaka tidak hanya bereaksi untuk memenuhi asupan nutrisinya, akan tetapi lebih dari itu ia akan bereaksi untuk meningkatkan kemampuan indrawinya, seperti seorang anak akan meraba wajah ibunya. Kebutuhan ini adalah sebenarnya adalah upaya sang anak untuk mengumpulan informasi yang akan diolah dalam otak mereka.
Setelah kemampuan verbal linguistiknya mulai terbangun maka anak akan mencoba untuk mengeluarkan pendapatnya terhadap segala hal yang dijumpainya. Tahapan ini adalah tahapan yang sangat penting, dan krusial dalam perkembangan intelegensi anak. Apabila kemampuan berpendapat - dan sering kali juga diiringi dengan pertanyaan - anak tidak mendapatkan apresiasi positif dari orang tua di sekelilingnya, maka kesan yang akan didapatkan untuk pertama kali bagi sang anak adalah bahwa mengeluarkan pendapat adalah sesuatu yang terlarang karena akan menimbulkan efek negatif bagi dirinya, misalnya dimarahi oleh ibu atau ayah, secara otomatis anak akan mengeluarkan reaksi pertahanan yaitu mengamankan dirinya dari kemarahan ibu dengan cara tidak lagi berpendapat atau bertanya. Akan tetapi sampai kapan reaksi defensif ini akan terus dilakukan, tentu tidak akan selamanya. Karena pada kenyataannya reaksi defensif ini adalah cikal bakal reaksi ofensif yaitu timbulnya pemberontakan anak dengan hal-hal yang sering kali lebih cenderung membahayakan diri anak sendiri dari apda orang lain.
Berdasarkan hal demikian, maka adalah suatu kewajiban bagi setiap orang tua untuk mengapresiasi setiap kata yang keluar dari mulutnya, baik itu pendapat maupun pertanyaan, hal ini karena tindakan tersebut lambat laun akan memupuk keberanian anak untuk mempresentasikan pemikirannya terhadap sesuatu yang mungkin lebih baik dari pada orang tuanya.
Maka pada intinya adalah, anggaplah anak kita sebagai manusia seperti kita, yang memiliki perasaan untuk dihargai setiap pendapatnya.
No comments:
Post a Comment