Oleh: Frenky Mubarok
Dalam sebuah hadits yang biasa dipetik oleh sufi disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya. Inna khalaqa al-âdama min shûratihi (Sesungguhnya penciptaan Adam adalah berdasarkan citra-Nya). Dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa dikarenakan manusia diciptakan Allah swt menurut citraan-Nya maka sifat-sifat Allah pun melekat pada diri manusia walau pun dalam kadar yang sedikit.
Dalam pemahaman sufistik penciptaan senantiasa dihubungkan dengan konsep tajallī. Istilah tajallī dapat kita perhatikan dalam ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi tersebut. Al-Qur’an menceritakan, “Dan tatkala Musa datang pada waktu yang telah Kami tentukan (miqat) dan berkomnukasi (kallam) dengananya, Tuhan-nya (rabb). Berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah kepadaku agar aku dapat melihat Mu (Dzat Allah)". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku (Dzat-Ku), tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya niscaya kamu dapat melihat-Ku (Dzat-Ku)". Tatkala Tuhannya menampakkan diri (tajallã) kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman" (Q.S. Al-‘Araf: 143).
Dalam Q.S. Al-‘Araf ayat 143 secara spesifik tajallī digambarkan sebagai penampakan Tuhan yang apabila manusia melihatnya maka manusia pun akan tersungkur tak berdaya. Demikianlah betapa penampakan Tuhan di alam semesta ini membuat manusia tidak berdaya. Dalam ayat tersebut, diceritakan bahwa manusia tidak akan pernah dapat menjangkau hakikat dari Dzat Tuhan, ia hanya dapat menjangkau hingga tingkatan (maqam/station) asma’ (nama) dan sifat Allah saja. Ketidak mampuan mengetahui Dzat Tuhan inilah yang mengakibatkan Nabi Musa bertaubat karenanya. Ia bertaubat dari sisi kemanusiaanya karena tidak sanggup mengjangkau hakikat Dzat Allah, dan ia pun percaya (baca: beriman) dengan Ke-mut}laq-an Wujud Allah walaupun hanya dapat mengetahui melallui tajallī-Nya saja.
Dalam ayat lain, tajallī diartikan sebagai pancaran cahaya matahari yang terang benderang di siang hari, yang dengannya kita bisa melihat segala sesuatu namun kita tidak dapat melihat sumber hakikat dari cahaya matahari tersebut. Allah berfirman, “dan siang apabila terang benderang (tajallâ)” (Q.S. Al-Lail: 2.).Demikianlah tajjalī Allah adalah pancaran cahaya yang bersumber dari Dzat-Nya, kita tidak akan dapat mengetahui hakikat Dzat-Nya tanpa melalui tanda-tanda (ayãt Allãh) yang ditampakan oleh-Nya di alam semesta.
Dalam kitab I’jãz al-bayãn, al-Qunawi berpendapat bahwa, sifat (al-sifãt) dan karakter (al-na’ūt) sealalu sesuai dengan yang disifati (al-musūf) dan yang dideskripsikan (al-man’ūt). Dalam perngertian bahwa menyandarikan suatu sifat kepada sesuatu yang disifatinya adalah hanya jika sifat itu sesuai dengan sesuatu yang disifatinya itu, dan jika secara prinsipil sesuatu itu menerima sifat yang disandarkan kepadanya. Dari pendapat tersebut maka al-Ḥaq swt., meskipun esensi realitas-Nya tidak dapat diindera, akan tetapi – melalui apa yang Dia ajarkan, Dia kabarkan, dan Dia pahamkan, maka kita telah mengetahui bahwa menyandarkan berbagai siat dan karakteri yang memiliki hubungan benar kepada-Nya tidak sama dengan menghubungkan sifat dan karakter itu kepada selain-Nya, hal tersebut karena segala sesuatu selain Dia bersifat mungkin (mumkin) dan segala yang mumkin itu terkena prinsip kenisbian berikut segala sifat yang melekat padanya, seperti: tergantung, terbatas, tidak sempurna, dan lain-lain. Sedangkan Dia swt., dari segi relalitas-Nya (haqīqat), berbeda dengan semua yang nisbi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Jadi, siafat dan karakter hanya dapat disandarkan kepada-Nya hanya dalam pengertian yang mutlak (al-muthlaq), menyeluruh (al-kullī), meliputi (al-iḥathī) dan sempurna (al-kãmil).
Demikianlah bahwasanya tajallî adalah merupakan tanda-tanda Kekuasaan-Nya. Itulah sebabnya Adam sebagai tajallî dari Ilmu dan Asmâ’ Allah menjadi landasan bagi ketundukan malaikat dan mahluk lainnya. Sebagai tajallî dari Ilmu dan Asmâ’ Allah pula yang mengakibatkan manusia memiliki tugas memancarkan sifat-sifat Ilahiyah yang ada di dalam dirinya sebagai raḥmat li ‘âlamî.
Kembali kepada kisah Nabi Musa as. Pengetahuan Nabi Musa as. tentang Dzat, Asma’, dan Sifat Allah ini ia harus ia sampaikan kepada Fir’aun dalam dakwahnya. Kisah perjalanan dakwah Nabi Musa as. kepada Fir’aun tergambar dalam Q.S. Al-Syu’ara: 23 s.d 67:
Pada suatu ketika, Musa kembali kepada Fir’aun dan memberitahukan bahwa ia telah diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah. Lantas Fir’aun meminta bukti kebenaran risalah Musa dengan bertanya, “Siapakah Tuhan semesta alam?” Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya, jika kamu sekalian mempercayai-Nya".Berkata Fir'aun kepada orang-orang sekelilingnya: "Apakah kamu tidak mendengarkan?". Seraya sambil mencibir Musa karena apa jawabannya tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan. Musa berkata lagi: "Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu". Fir'aun tertawa dengan congkak seraya berkata, "Sesungguhnya rasul yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila (majnūn)". Musa tak bergeming, ia melanjutkan perkataanya, "Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya” Lalu Musa menutup penjelasan dengan tegas, “Sungguh berakalkah kalian (inkuntum ta’qilūn)?!".
Pernyataan Musa yang terahir inilah (inkuntum ta’qilūn) yang membuat Fir’aun menjadi berang. Ia merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Musa adalah sebuah kebenaran yang nyata. Manusia tidak akan pernan mengetahui Dzat Tuhan, seperti yang ditanyakan oleh Fir’aun. Manusia hanya dapat mengetahui Tuhan dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang tersebar di alam semesta. Tanda-tanda tersebut adalah tajallī Allãh, dan hanya lewat tajallī-Nya lah manusia memiliki pengetahuan tentang-Nya. Fir’aun memahami itu, namun ia tak mau mengalah. Kesombongan telah menguasai dirinya. Ia tidak dapat lagi menggunakan akalnya. Karenanya ia tidak lagi mahu beradu argumen dengan Musa. Maka dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, dengan congkak ia berkata, "Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan".Musa masih tetap mencoba menyadarkan Fir’aun dengan terus menggugah logika berfikirnya dengan berkata: "Dan apakah (kamu akan melakukan itu) kendatipun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?"
Lantas Fir'aun menantang Musa dengan berkata: "Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar".Maka Musa lalu menunjukan mu’jizat yang diberikan Allah kepadanya berupa, tongkat yang menjadi ular, tangan yang putih bersinar. Lantas Fir'aun berkata kepada pembesar-pembesar yang berada sekelilingnya: “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya; maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?".
Reaksi atas mu’jizat yang ditampakan oleh Nabi Musa kepada Fir’aun sangat di luar dugaan Nabi Musa. Nabi Musa lantas terjebak pada permainan Fir’aun yang menantangnya bertanding dengan para penyihir kerajaan. Namun tentu saja, sekeras apa pun Nabi Musa menyadarkan Fir’aun, walaupun banyak di antara penduduk Negeri Mesir mengakui kebenaran ajaran Musa, ia tetap saja mengingkari peringatan dan risalah Nabi Musa. Kesombongan telah menutup hati Fir’aun yang telah salah memahami arti sebuah kekuasaan. Musa dan saudaranya Harun ahirnya memutuskan untuk hijrah dari Negeri Mesir untuk menghindari kemurkaan Fir’aun agar tidak berdampak buruk bagi orang-orang yang telah beriman kepada ajaran Musa. Fir’aun terlanjur sakit hati kepada Musa, ia merasa bahwa Musa dan para pengikutnya adalah merupakan ancaman terbesar bagi kekuasaannya. Dikarenakan hal tersebut maka Musa dan para pengikutnya tidak boleh dibiarkan untuk meninggalkan Mesir dan menyebarkan ajarannya. Fir’aun dan tentaranya mengejar Musa dan para pengikutnya, hingga ahirnya Fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan ke dalam samudera.
Dari kisah Nabi Musa as. dan Fir’aun tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang telah tertutup oleh kesombongan dan nafsu akan duniawi tidak akan pernah menerima dan menyadari kebenaran yang ditunjukan kepadanya, sungguhpun ia menjadari dan meyakini kebenaran tersebut. Demikianlah, seperti juga yang terjadi pada Abu Lahab dan para pembesar kafir Quraisy, yang walau pun mengakui bahwa Muhammad adalah orang yang paling mulia di antara mereka sehingga mereka sendiri memberi gelar kepadanya dengan gelar Al-Amîn, namun karena hatinya tertutup oleh pengaruh duniawi, maka ia menolak ajaran Islam dan berusaha untuk menghancurkan Islam.
Beramal shalih (‘amilu al-shaliḥât) adalah upaya untuk mengaktualisasikan sifat-sifat Allah atau fithrah Allah yang ada pada diri manusia. Misalnya menyayangi sesama manusia manusia dan alam sekitar berarti telah mengaktifkan fithrah Allah atau sifat Allah yaitu Al-Rahīm (Yang Maha Penyayang). Dengan demikian inti dari amal shaleh adalah bukan semata untuk mengharapkan pahala dari Allah swt, menginginkan Surga, atau takut terhadap siksa Neraka namun lebih kepada sebuah proses untuk berusaha mengaktifkan fithrah Allah dalam kehidupan sehari-hari. Aktifasi fithrah Allah ini pada ahirnya mengarah pada proses menuju kesempurnaan dan menjadi manusia paripurna (insan al-kamil).
Amal shaleh yang lain adalah saling mengajak kepada Al-Haq(Yang Maha Benar, Yang Maha Nyata) dan mengajak Al-Shabr (Yang Maha Menangguhkan).Kata al-Ḥaq dan al-Shabr adalah salah satu nama Allah swt. al-Ḥaq adalah salah satu nama Allah swt yang berarti Maha Benar atau Maha Nyata Kebenarannya. Sedangkan al-Shabr berarti bahwa Allah swt Maha Menangguhkan. Jadi selupa dan sezalim apa pun manusia selama ia masih hidup maka Allah swt akan selalu mengharapkan manusia untuk kembali kepada-Nya. Allah swt. yang Maha Benar dan Maha Nyata Kebenarannya akan senantiasa sabar kapada hamba-hambanya yang selalu lupa dan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif. Alla swt Maha Memaafkan selama hambanya mau meminta maaf dan kembali kepada fithrahnya.
Proses kembali kepda Allah atau kembali kepada fithrah tidak serta merta manusia akan tersadar dengan sendirinya. Sedemikian banyaknya godaan yang menghadang manusia sehingga mata hatinya tertutup untuk melihat kebenaran, karena itu dalam Q.S. Al-‘Ashr[103]: 3 manusia harus berusaha untuk saling mengingatkan untuk kembali kepada fithrah dan kepada kebenaran.
Daftar Pustaka
Chojim, Acmad, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan makna kehidupan (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007).
Fathurahman, Oman, Ithãf al-Dhakī Tafsir Wah}dtul Wujud bagi Muslim Nusantara (Jakarta: Penerbit Mizan, 2012).
No comments:
Post a Comment