Pages

Saturday, September 26, 2015

Memahami Syafa'at (Bagian 2)



Sumber gambar: www.independent.ie

Manusia adalah mahluk yang dapat menikmati kebahagiaan. Adalah sungguh suatu keprihatinan yang sangat mendalam jika banyak manusia yang tidak memiliki gairah hidup karena merasa bahwa dirinya telah tersakiti dan tidak bahagia. Adalah penting kiranya untuk memahami lebih dalam tentang apa itu kebahagiaan. Adakah kebahagiaan berbentuk, berwarna atau berdimensi layaknya organ tubuh kita?
Tentu saja tidak. Kebahagiaan bukanlah materi karena ia adalah sesuatu yang gaib yang dianugerahkan kepada manusia dari Yang Maha Gaib. Kebahagiaan adalah ekspresi alamiah manusia yang suci dan tanpa dibuat-buat. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dinikmati pada masa lalu atau pun masa yang akan datang, namun kebahagiaan adalah sesuatu yang dinikmati pada masa sekarang namun tetap berhubungan dengan masa lalu sebagai titian sejarah dan pendidikan dan masa yang akan datang sebagai sebuah harapan dan tujuan.
Lantas apakah kiranya hubungan kebahagiaan dengan tema syafa’at dalam bab ini? Tentu saja hubungan keduanya sangat berkaitan erat. Bukankah seperti yang dimaklumi oleh semua orang bahwa harapan akan syafa’at sejatinya adalah harapan sebuah kebahagiaan?
Setiap manusia dilahirnya dalam bentuk yang istimewa nan sempurna sebagaimana firman Allah swt Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, …. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (Q.S. Al-Isra’ [17]: 70). Namun kelebihan yang dimiliki manusia tidak semata-mata manjadikan dirinya dapat menikmati kebahagiaan. Hal ini karena kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia namun hanya dengan hati yang bersih dan sempurna. Seiring dengan berjalannya kehidupan. Manusia akan menemukan di mana focus spiritualnya mengalami kekosongan sehingga tidak dapat menikmati kebahagiaan maka di sinilah peran syafa’at bagi manusia. Dengan diberi dan mau menerima syafa’at yang berupa ajaran Nabi dan orang-orang yang shalih maka manusia akan sedikit-demi sedikit bergerak kea rah penyempurnaan spiritualnya dan pada gilirannya akan berdampak pada perbuah perilaku sosialnya di masyarakat.
Dari uraian tersebut maka objek penerima syafa’at adalah orang yang masih hidup di dunia, bukanlah orang yang telah meninggal. Allah berfirman: Hingga datang kepada kami kematian. Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at (Q.S. Al-Mudatsir [74]: 47-48). Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa syafa’at berkaitan dengan penyempurnaan iman seseorang, syafa’at tidak akan berguna bagi orang yang sudah menjadi mayit, dengan demikian syafa’at adalah peenyempurnaan iman kepada Allah swt dengan menjalankan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi saw baik dalam ibadah maupun akhlak.
Lantas siapakah yang berhak memberikan syafa’at? Jika melihat syafa’at secara umum, maka setiap orang berhak memberikan syafa’at kepada orang lain baik itu syafa’at yang negatif atau pun positif. Namun dalam jika pengertian syafa’at dipersempit menjadi syafa’at yang berkaitan dengan penempurnaan hidup dan nilai-nilai spiritual bagi manusia, maka tidak semua orang berhak memberikan syafa’at tersebut. Dengan kata yang lain hanyalah orang yang diberi izin oleh Allah swt yang dapat memberikan syafa’at kepada manusia. Orang yang paling mudah dan paling ideal untuk diambil safatnya adalah para Nabi dan Rasul, hal ini karena para Rasul Allah adalah orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah atau dalam pengertian lain orang yang dapat memberi syafa’at dalah orang yang telah beriman dan bertaqwa Allah secara sempurna. Allah swt berfirman: Mereka tidak berhak mendapat syafa'at kecuali orang yang Telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah (Q.S. Maryam [19 ]: 87).

Memahami Syafa'at (1, 2, 3, 4, 5

No comments:

Post a Comment