Pages

Monday, September 21, 2015

Selamakan Pendidikan Indonesia dari Disorentasi Pembangunan

Kritikan yang dilontarkan oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang menyatakan bahwa institusi atau
lembaga pendidikan di Tanah Air saat ini sudah tidak lagi mementingkan substansi, namun lebih mengedepankan citra lembaga masing-masing, sehingga anak didik tidak lagi menjadi fokus utama perlu menjadi renungan wajib seluruh elemen bangsa Indonesia. (www.republika.co.id / 31-8-2015)
Lokomotif pendidikan Bangsa Indonesia seperti telah lepas dari rel tujuan mulia didirikannya NKRI pada 70 tahun yang lalu. Pendidikan yang sejatinya merupakan solusi utama dalam memperbaiki  kerusakan bangsa tidak digunakan secara maksimal. Meurut Cak Nun hingga saat ini, bangsa Indonesia belum sampai pada tingkat kesepakan forumula yang jelas terkait pendidika itu bagaimana dan seperti apa yang ideal.
Pendapat Cak Nun tersebut mengingatkan saya terhadap statement yang pernah dikeluarkan oleh almarhum Nur Khalis Madjid (Cak Nur) bahwa sulitnya bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan pembangunan adalah karena keliru dalam mengartikan moderniasi. Indonesia, Hindia Belanda pada waktu itu, ketika gembar-gembor penerapan politik etis oleh pemerintah Hindia Belanda yang banyak membangun sekolah-sekolah formal dengan mengajarkan pelajaran-pelajaran khas dari Barat, disikapi secara berlebihan. Berlebihan dalam hal ini terdapat golongan, yaitu golongan yang berlebihan dalam menerima budaya baru tersebut dan  menganggapnya sebagai sesuatu yang paling baik sehingga menganggap bahwa budaya lokal terutama sistem pendidikan yang telah berlangsung selama ratusan tahun di bumi Nusantara, khusunya tradisi pesantren, adalah sesuatu yang kuno dan harus disingkirkan. Sedangkan golongan ekstrim yang lain adalah berlebihan dalam menganggap bahwa setiap yang masuk dari Barat adalah budaya yang sesat dan menyesatkan karena dibawa oleh orang-orang kafir.
Setelah Indonesia merdeka ternyata dualisme arah pendidikan Indonesia tidak dapat diselesaikan. Pengakuan Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan oleh negara secara formal pada tahun 1950 berdasar Undang-undang No. 4 tahun 1950 ternyata membuat dualisme pendidikan Indonesia semakin terlihat jelas. Apalagi manajemen pendidikan madrasah yang tidak di bawah binaan Departeman Pendidikan tetapi Departemen Agama yang dalam pengelolaannya ternyata di awal-awal pendiriannya tidak dioptimalkan secara maksimal mengakibatkan 'derajat' pendidikan madrasah berada pada level kedua daripada pendidikan sekolah yang dibina oleh Departemen Pendidikan. Ahirnya pendidikan madrasah pun hanya bisa mengekor dan berada di bayang-banyang pendidikan sekolah.
Selain dualisme arah pendidikan tersebut. Ternyata pendidikan Indonesia diperparah dengan 'pendewaan' ijazah sebagai syarat utama penerimaan tenaga pekerja baik di perusahaan-perusahaan swasta maupun instansi pemerintah. Maka pantaslah jika sekarang banyak terjadi pemalsuan ijazah yang bahkan dilakukan secara terang-terangan.
Hal ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena dapat menyebabkan terjadinya disorientasi pembangunan Indonesia. Apalagi ternyata persaingan dalam mendapatkan lapangan pekerjaan pada era globalisasi saat ini dan yang akan datang lebih berorientasi pada skill bukan pada ijazah formal. Karenanya jika ternyata sumber daya manusia (SDM) kita bangsa Indoensia tidak dapat memenuhi kesiapan skill, maka akan sulit menembus pada persaingan di tingkat global, yang pada ahirnya kita akan kembali dijajah di negeri sendiri.


No comments:

Post a Comment