Pages

Saturday, August 22, 2015

Biografi: Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani

Abd al-Qadir al-Jilani adalah seorang ulama yang sangat penting dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan 470 H / 1077 M di kota Jilan, daerah selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran, dan wafat di Baghdad pada hari Sabtu malam, tanggal 9 Rabiul akhir 561 H/1166 M.
Semasa kecil Abd al-Qadir adalah anak yang cerdas, namun kota Jilan yang terpencil pada saat itu tidak menyediakan banyak ulama untuknya belajar, karenanya pada tahun 488 H / 1095 M tepat pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mustadhir Billah al-‘Abbasy ia memasuki kota Baghdad. Di kota Baghdad inilah ia banyak belajar dari ulama-ulama besar antara lain Abdul Wafa, Khatib al-Kalwazani, Abdul Husain Yala, Hammad al-Dibasy, Ibn Sa’ad al-Mubarok.
Syaikh Abd al-Qadir merupakan peletak fondasi Tarekat Qadiriyah yang oleh para sejarawan merupakan tarekat tertua dalam sejarah sufi. Tarekat Qadiriyah menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal baka munculnya cabang tarekat di dunia Islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang Syaikh telah memberikan pengaruh besar pada pemikiran dan sikap umat Islam. Bagi Syaikh Abd al-Qadir tasawuf adalah merupakan kebeningan jiwa dan bersih dari hawa nafsu, hubungan yang harmonis dengan Allah swt., berakhlak mulia kepada sesama, dan harus sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah tanpa harus ditambah dan dikurangi.
Menurut Syaikh Abd al-Qadir terdapat empat golongan manusia di dunia ini. Pertama, ialah orang-orang yang tidak punya hati dan tidak punya lidah. Mereka adalah mayoritas masyarakat yang tidak peduli tentang kebenaran dan keutamaan, mereka hanya tunduk pada naluri inderawinya saja. Kedua, ialah orang yang mempunyai lidah tetapi tidak mempunyai hati. Mereka adalah para kaum terpelajar yang memiliki pengetahuan yang luas, yang selalu menganjurkan manusia berbuat benar, akan tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang dianjurkannya. “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(Q.S. Shâf: 3). Ketiga, ialah mereka yang punya hati, tetapi tidak punya lidah. Mereka adalah orang yang selalu sadar akan kekurangan dan kelemahan, sehingga berusaha terus menerus mensucikan diri dari hal-hal kotor. Bagi mereka diam lebih baik dari pada berbicara. Akan tetapi karena sikap diamnya ini malah membingungkan ummat. Bahkan Nabi saw, memasukan orang-orang dalam kategori ini adalah orang yang imannya paling lemah (H.R. Muslim). Keempat, ialah mereka yang memiliki hati dan juga lidah. Mereka adalah orang yang mendapat pengetahuan sejati, dilengkapi dengan bimbingan dari Allah swt. Merka adalah penyambung kenabian (waratsat al-anbiyâ). Mereka adalah kelompok yang tertinggi setelah para nabi.




No comments:

Post a Comment