Pages

Saturday, August 22, 2015

Yakinlah Anak Ada Cerdas!


Pada dasarnya, setiap anak itu cerdas. Persepsi inilah yang harus diyakini oleh kita sebagai orang tua atau pun guru. Baik cerdas dalam bidang matematika, menggambar, menyanyi, maupun bidang lainnya. Selain itu, setiap anak juga memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, misalnya dengan cara bernyanyi, bermain, atau mendengarkan dongeng.
Sayangnya, tidak banyak orang tua yang memahami kondisi ini. Mereka justru sering melakukan tindakan diskriminatif terhadap anak. Para orang tua cenderung melakukan berbagai cara untuk membuat anak berprestasi di sekolah. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah memasukkan anak dalam program pendidikan tambahan di luar sekolah, seperti les, kursus, privat, dan lain sebagainya.
Di satu sisi,langkah ini terlihat positif karena dapat menambah pengetahuan dan wawasan anak. Namun,di sisi lain, kegiatan tersebut justru menjadi beban psikologis bagi anak. Dengan ungkapan lain, anak merasa terbebani dengan kewajiban-kewajiban yang tidak mereka inginkan, sehinga ia merasa kehilangan waktu bermain, bersantai, berkumpul dengan keluarga, dan lain sebagainya.
Para orang tua bertindak demikian karena merasa khawatir dan cemas apabila anak mereka tidak berprestasi atau mendapat nilai merah di sekolah. Selain itu, kurikulum dan standar kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah juga menuntut anak untuk mencapai nilai atau prestasi tertentu. Sehingga, orang tua pun sering mengambil tindakan "ekstrem" yang membuat anak merasa tertekan.
Sedikitnya, ada dua alasan yang membuat orang tua sering berlaku kasar, keras, dan cenderung memforsir anak untuk belajar. Pertama, orang tua mengingkan anak mereka menjadi anak yang berprestasi. Dalam hal ini, sebaiknya orang tua harus benar-benar memahami mekna prestasi, sehingga dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak membuat anak merasa tertekan.
Adapun definisi prestasi menuru Muray (1990) adalah kemampuan mengatasai hambatan, melatih kekuatan, berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik dan secepat cepatnya. Sedangkan menurut Gegne (1985), prestasi belajara dapat dibedakan menjadi lima aspek, yaitu kemampuan intelektual, strategi kognitif, infromasi verbal, sikap dan ketrampilan.
Dari kedua pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa prestasi merupakan hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan, baik kegiatan belajar maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak berhubungan dengan kegiatan belajar secara formal.
Kedua, orang tua mengharapkan supaya anak mampu menguasai satu bidang atau materi pelajaran tertentu. Misalnya, karena orang tua terlalu berambisi supaya anak unggul dalam bidang matematika, maka mereka akan memberikan pelajaran tambahan maetematika kepada anak di luar jam sekolah. Selain itu mereka juga akan memasukan anak ke lembaga-lembaga kursusu, mendatangkan guru privat dan lain-lain.
Tindakan orang tua tesebut dipicu oleh pandangan sebagian besar masyarakat bahwa anak yang menguasai materi pelajaran eksakta, seperti matematika, fisika, kiami dan ilmu-ilmu sains lainnya, termasuk anak yang cerdas atau jenius. Tentunya tindakan tesebut masih dapat ditoleransi jik anak juga memiliki kecenderungan yang sama dengan keinginan orang tua. Namun pada kenyataanya anatara keinginan orang tua dan kecenderungan minat belajar anak tidaklah selalu sama bahkan sering kali berbeda, karenanya jika hal tersebut dipaksakan maka akan menimbulkan "siksaan psikologis" bagi anak.
Sebagian orang tua selalu mengeluhkan susahnya memotivasi anak untuk rajin belajar. Salah satu faktor penyebabnya adalah pelajaran yang dipelajari oleh anak tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu, suasana yang tidak mendukung juga membuat anak kurang bergairah dalam belajar. Karenanya mendidik anak sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan gaya belajarnya adalah sangat penting untuk dilakukan.

No comments:

Post a Comment