Pages

Friday, August 28, 2015

Roro Jonggrang Sebuah Legenda yang Terlanjur Dianggap Sebagai Fakta Sejarah



Ketika kuliah di Jogja saya menyempatkan diri untuk berwisata ke komplek Candi Prambanan. Melihat secara langsung komplek candi agama Hindu tersebut timbul rasa takjub dan bangga akan teknologi arsitektur purbakala Indonesia. Tidak puas dengan hanya menikmati indahnya candi Siwagrha (778 Saka /856 Masehi) yang merupakan nama asli candi Prambanan, aku pun mengunjungi museum yang terletak tidak jauh dari komplek candi. Ada sebuah patung yang menarik perhatianku yaitu arca Dewi Durga. Lalu aku pun lantas teringat akan legenda Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso.
Kemudian jika arca Dewi Durga, dianggap sebagai patung Roro Jonggrang lantas di mana letak candi yang dibangun oleh Bandung Bandawasa dalam waktu semalam itu? Setelah berkeliling Prambanan ternyata tidak jauh dari komplek candi Siwagrha, yaitu sekitar
elapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan, terdapat sebuah komplek candi yang lain yaitu Candi Sewu (782 M) yang merupakan komplek candi agama Budha. Maka lengkaplah cikal baka legenda tersebut.
Namun rasa penasaranku tidak selesai begitu saja. Dalam legenda Roro Jonggrang tersebut diceritakan bahwa terdapat dua kerjaan yang saling bersaing yaitu kerajaan Boko dan kerjaan Pengging. Bandung Bonodowoso merupakan putra mahkota kerjaan Pengging yang berhasil mengalahkan raja kerajaan Boko. Kemudian ia bermaksud untuk menjadikan puteri kerjaan Boko sebaga permaisurinya, namun Roro Jongjarng nama dari puteri kerjaan Boko tersebut menolaknya, hingga ahirnya anda tahu sendiri ahir ceritanya.

Analisa saya terhadap fakta sejarah dan legenda tersebut adalah:
  • Pada zaman Mataram Kuno (Kerajaan Medang) terdapat dua wangsa (keluarga) yang saling bersaing memperebutkan pengaruh dan kekuasaan, kedua wangsa itu adalah Wangsa Sanjaya (berkuasa pada tahun 732-754) dan Wangsa Syailendra (berkuasa tahun 752–1006). Melhat era kekuasaan kedua wangsa tersebut maka dengan demikian legenda Roro Jonggrang tersebut menyiratkan bahwa Kerajaan Boko adalah merupakan simbolisasi wangsa Sanjaya yang beragama Hindu yang kemudian dikalahkan oleh Kerjaan Pengging yang merupakan simbolisasi wangsa Syailendra.
  • Simbol yang lain adalah, Roro Jonggarang yang dikutuk menjadi batu oleh Bandung Bondowoso merupakan tanda hilangnya pengaruh wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dalam Kerajaan Mataram karena dikalahkan oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buhda.
  • Perlawanan Roro Jongrang yang merekayasa fajar dan suasana pagi agar pekerjaan pembuatan Candi Sewu gagal adalah simbolisasi bahwa agama Hindu walaupun mengalami kekalahan tetapi mereka tetap berjuang untuk mengalahkan pengaruh agama Budha sampai titik darah penghabisan, walau pun ahirnya mereka benar-benar menjadi hilang pengaruhnya karena 'dikutuk menjadi batu'.
  • Hilangnya pengaruh Hindu ditandai dengan pendirian Candi Sewu atau Candi "Prasada Vajrasana Manjusrigrha" pada tahun 782 M oleh Rakai Panangkaran (memerintah tahun 746–784 M). 
  • Walaupun tidak lagi berkuasa, namun perlawanan dari agama Hindu terhadap agama Budha tetapi ada, Hal ini dapat dilihat dari lamanya konstruksi pembangunan candi Budha yang lain yaitu Candi Borobudur pada masa Sri Maharaja Samarottungga (memerintah tahun 792 – 835), yang menghabiskan waktu sekitar 55 tahun dari tahun 770 M sd. 825 M. 
  • Pengaruh Hindu kembali muncul setelah Rakai Pikatan Mpu Manuku (memerintah tahun 840 s.d 856) berhasil menikahi Pramodawardhani yang merupakan putri Raja Samarottungga dari Wangsa Syailendra yang beragama Budha. Kesempatan ini tidak disiasiakan oleh Rakai Pikatan  untuk membangkitkan kembali eksistensi agama Hindu yaitu dengan mendirikan Candi Prambanan atau Candi Siwagrha. 
  • Tidak seperti Candi Borobudur yang konstruksinya menghabiskan waktu selama 55 tahun, Candi Siwargrha dibangun hanya memakan waktu 6 tahun saja yaitu dari tahun 850 M sampai 856 M. Ini menandakan pada waktu itu kerajaan Mataram Kuno mengalami tingkat kestabilan dan kesejahteraan yang tinggi. 
Candi Siwargrha merupakan candi terindah yang dibangun oleh Kerjaan Mataram Kuno. Karenanya sampai saat ini jika kita menggambarkan sebuah tempat yang indah, maka kita akan menyebutnya sebagai surga, atau syurga. Kata surga atau syurga ini dalam bahasa Jawa disebut suwarga yang berasal dari kata Siwargrha. Siwargrha sendiri memiliki arti Rumah dari Syiwa yang merupakan Maha Dewa. Dalam perkembangan dakwah Islam kata 'suwarga' tetap digunakan sebagai kata yang identik dengan Jannah dalam bahasa Arab.  
Sebagai simbol dan bukti dari puncak peradaban tertinggi Kerajaan Mataram "Suwarga"  tidak hanya memberikan warisan bangunan yang mengah saja, tetapi toleransi antar umat beragama yang terjalin pada waktu itu juga merupakan warisan yang paling berharga bagi Bangsa Indonesia. 
Ahirnya, semoga kita bisa membaca sebuah legenda tidak hanya sebagai dongeng pengantar tidur saja, akan tetapi mencoba menelisik lebih dalam dari makna yang tersirat dari sebuah legenda tersebut.

No comments:

Post a Comment