Pages

Friday, August 21, 2015

Menjadi Guru yang Selalu Merasa Bodoh


Sebelum manusia lahir di dunia, Tuhan menempatkan kita dalam rahim ibu yang kukuh, elastis, dan kuat. Selama kurang lebih sembilan bulan, kita telah membentuk pra-kehidupan di alam rahim. Selama itu pula, kita menerima oksigen, makanan, minuman, serta informasi getaran dan suara dari ibu dan lingkungan sekitar. Semua yang dirasakan dan dimakan ibu itulah yang kita peroleh. Para ilmuwan genetika meyakini, ibu (juga ayah) telah memberikan sumbangsih genetis yang membentuk jabang bayi. Asupan makanan dan minumna turut memberikan sumbangan yang besar terhadap "kekuatan kehidupan" bayi. Faktor lingkungan juga memberikan andil yang besar dan berpengaruh positif terhapa "kekuatan" bayi. Tiga hal mendasar inilah membentuk "kekuatan kecerdasan" sang bayi berbeda pada setiap insan yang dilahirkan. Walaupun pada dasarnya seluruh rangkaian genetis tersusun atas andenin, guanin, sitosin, dan timin, tidak ada ayah dan ibu dengan pola genetis sama: sebuah rahasia keagungan Sanga Maha Pencipta sehingga setiap anak berbeda unik satu sama lain.
Sumber kecerdasan ditentukan oleh tiga hal: genetis, asupan makanan, dan lingkungan. Tetapi, pada akhirnya, ketiga sumber kekuatan kecerdasan tersebut berumara di sekolah. Penemuan kekuatan kecerdasan siswa menjadi tanggung jawab moral sekolah. Peran sekolah seharusnya seperti detektif pencari minat, bakat dan kekuatan kecerdasan siswa. Sebagaimana perbedaan pada pola genetis setiap siswa, maka perbedaan kemuncullan kekuatan siswa pun berbeda satu sama lain. Dengan demikian, banyak cara menuju kecerdasan dan banyak tanda pula untuk melihat kecerdasan siswa.
Setiap waktu dalam kehidupan kita adalah kejadian-kejadian dan berbeda pada setiap individu yang mengalaminya. Kejadian itu memunculkan pengalaman dan interaksi sosial, antara lain berupa momen kemunculan kekuatan kecerdasan sesorang (baca: siswa). Jika ditarik ke wilayah sekolah, momentum kemunculan kekuatan kecerdasan siswa itu harus tercatat, direkan dan difasititasi, dirangsang, dipacu, lalu dihargai (kegiatan belajar mengajar), yang semua tertulis dalam bentuk penilaian proses up date (penilaian autentik). Fakta lain yang diperoleh dari penilaian momentum kemunculan kekuatan kecerdasan tidak hanya bersifat kognitif, juga psikomotorik dan afektif. Tentu saja semua itu melalui pengajaran yang bersifat discovering ability.
Penerapan discovering ability dalam merencanakan kegitan pengajaran atau pada proses pembelajaran mengindikasikan bahwa kita sebagai pendidik harus senantiasa merasa bahwa kita tidak mengatahui apapun secara utuh baik dalam materi yang diajarkan, metode pengajaran atau pun para peserta didik kita. Karenanya dapat dikatakan bahwa guru yang menerapkan metode tersebut adalah guru yang senantiasa merasa dirinya bodoh, dan guru yang selalu merasa dirinya bodoh tersebut adalah guru yang selalu menggali informasi dalam upaya peninggkatan kualitas pembelajaran yang dilakukannya. Maka dalam arti sederhana guru yang selalu merasa bodoh adalah guru yang smart!.

Baca artikel yang lain: Mendiagnosis Gejala Autisme Sedini Mungkin

 

No comments:

Post a Comment